PK IMM FISIPOL UMY
Fastabiqul khairat

Kritik Paulo Freire Terhadap Pendidikan Yang Menghilangkan Kesadaran Kritis

Spread the love

Oleh: Muhammad Nabil Majid (Bidang Hikmah)

*Arwave.blogspot.com

Perlu disadari bahwa pendidikan tidak hanya menjadi modal untuk menunjukkan kedudukan status sosial, dalam aspek yang lebih luas pendidikan dapat menjadi modal untuk melawan belenggu ketertindasan. Paulo Freire adalah seorang tokoh filsafat pendidikan yang dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brazil. Ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, dari pengalaman itu membuat Freire mampu mengenali dan membangun “solidaritas dengan anak-anak miskin dari pinggiran kota”. Pengalaman menjadi orang miskin di usianya yang masih kecil mengenalkan Freire pada suatu fenomena “budaya diam” dari orang-orang yang tersisihkan, sangat mustahil untuk berani dan kritis terhadap keadaan yang sedang mereka alami. Hal ini menjadi jelas bagi Freire bahwa pendidikan yang ada menjadi alasan utama dari adanya budaya diam tersebut. 

Freire menyadari bahwa kebodohan dan kelaparan yang ia alami diakibatkan oleh keseluruhan antara kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya paternalisme. Dihadapkan dengan kondisi seperti ini, Freire kemudian mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan, Freire menggunakan pemikiran dari para pemikir terdahulu untuk mengembangkan perspektif pendidikan yang secara otentik tumbuh dari kondisi yang dialaminya dan mencoba menjawab keadaan nyata di Amerika Latin. 

Konsep pendidikan yang dibawa oleh Paulo Freire sejatinya adalah usaha penyadaran akan masalah kemanusiaan seperti ketidakadilan, eksploitasi oleh kekuasaan, penindasan, dan kekerasan dari penindasan. Freire mengkritik konsep pendidikan yang menjadi “alat penjinakan” nalar kritis manusia, konsep pendidikan ini menghilangkan kemampuan berpikir kritis manusia yang bertujuan untuk membuat manusia menjadi makhluk yang mudah diatur dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan suatu kelompok. 

Freire mengistilahkan konsep ini sebagai konsep pendidikan “gaya bank”, konsep pendidikan ini hanya mengandalkan kekuatan narasi dimana hubungan yang terjalin hanya melibatkan subjek sebagai pencerita (guru) dan objek yang menerima cerita (murid). Konsep ini menjadikan pendidikan seperti aktivitas menabung dimana murid dijadikan wadah yang akan diisi narasi oleh guru sebagai narator, cakupan pendidikan gaya bank hanya membuat murid menerima, menata, dan menghafal apa yang telah disampaikan oleh guru, guru berbicara seakan dunia ini statis dan mudah diprediksi, padahal apa yang disampaikannya tidak selalu sesuai dengan pengalaman eksistensial yang dirasakan oleh murid. Menurut Freire humanisasi bukanlah suatu hal yang didapatkan dari pemimpin revolusioner, tetapi dari gerakan refleksi dan aksi. Gaya pendidikan ini dianggap tidak dapat menumbuhkan kesadaran revolusioner, gaya pendidikan ini hanya membuat murid menjadi pasif dan tidak ada keterlibatan murid dalam pemikiran kritis yang revolusioner. 

Menurut Freire dialog merupakan hal yang paling penting dalam sebuah konsep pendidikan dimana tidak adanya dikotomi antara guru-murid. Dialog menjadikan guru tidak lagi sebagai satu satunya pengajar, adakalanya guru menjadi orang yang diajar melalui dialog dengan murid, guru dan murid menjadi bersama-sama memiliki tanggung jawab atas sebuah proses pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang membebaskan terdiri dari tindakan penambahan (act of cognition) bukan sekedar pemindahan informasi. 

Dalam konsep pendidikan gaya bank pengetahuan seperti sebuah hadiah yang diberikan oleh mereka yang merasa dirinya berilmu, guru menganggap dirinya berbeda dengan murid; dengan menganggap muridnya bodoh, mereka menegaskan eksistensi mereka sebagai orang yang berilmu, murid hanya berperan sebagai pelengkap dari penegasan eksistensi mereka. Konsep pendidikan seperti ini hanya akan menimbulkan dikotomi antara murid dengan guru, adanya dikotomi ini tentu akan menjauhkan murid dari kesadaran dialektika. Untuk mewujudkan kesadaran diperlukan dialektika yang mana pengajar harus menghilangkan adanya dikotomi yang menjadikan murid sebagai objek, pengajar harus menghadirkan murid sebagai subjek dalam dunianya, seorang pendidik harus berada di tengah-tengah muridnya sebagai rekan, bukan menjadi seseorang yang berlawanan dengan murid. 

Kritik Freire adalah suatu respon atas adanya dehumanisasi, dalam perspektif yang tidak sehat kaum tertindas menganggap dirinya sebagai “benda”, perspektif ini lahir atas ketergantungan emosional kaum tertindas dimana mereka menganggap bahwa dirinya dimiliki oleh kaum penindas karena doktrin yang ditanamkan secara terus-menerus. Freire menekankan bahwa kebebasan bukan suatu hal yang turun dari langit, kebebasan didapat melalui perjuangan, pendidikan harus melahirkan kesadaran dan kesadaran itu diharapkan dapat melepaskan bayang-banyang penindasan dan mewujudkan kebebasan bagi kaum tertindas. 

Bagi Freire pendidikan menjadi alat penting untuk mengembalikan fitrah manusia secara utuh, bukan untuk menjadi alat untuk memenuhi kepentingan suatu golongan. Menurut Freire pendidikan harus berorientasi untuk membebaskan manusia dari kungkungan dan kekuatan otoritas kekuasaan. Konsep pendidikan pembebasan Freire dilandasi oleh realitas ketertindasan yang dialami oleh sebagian besar manusia atas ketidakadilan dan pendistorsian nilai-nilai manusia, untuk itu Freire berusaha untuk dehumanisasi agar dapat menjadi manusia atas realitas sendiri secara subjektif dan objektif. 

Referensi: 

Paulo, F. (n.d.). Pedagogy Of The Oppressed. The Continuum International Publishing Group Ltd. 

Husni, M. (2020). Memahami Pemikiran Karta Paulo Freire “Pendidikan Kaum Tertindas” Kebebasan dalam Berpikir. Al-Ibrah, 5(2), 41–60. https://ejournal.stital.ac.id/index.php/alibrah/article/view/103 

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *