PK IMM FISIPOL UMY
Fastabiqul khairat

Pelecehan Seksual Terhadap Laki-Laki: Emang Bisa?

Spread the love

Oleh: Atha Pramudita Agung Wibowo (Anggota Bidang Immawati)

*Freepik.com

Pelecehan seksual sebuah tindakan keji tak bermoral dan kerap kali tak menemui penyelesaian yang tuntas. Hal ini disebabkan karena pelecehan seksual belum dianggap sebagai hal yang mendesak dan perlu diatasi. Belum lagi stigma sosial yang di dapat oleh korban justru kian menambah permasalahan sosial di sekitar kita. 

Dewasa ini kasus kekerasan menjadi lebih pelik bilamana pelecehan seksual terjadi pada laki-laki. Ya, anda tidak salah dengar laki-laki yang kerap menjadi pelaku dapat pula menjadi korban. Berdasarkan survei kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang dilakukan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 33 persen laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dalam berbagai bentuk

Data dari Komisi Perlindungan Anak (KPAI) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih sering mengalami pelecehan seksual daripada anak perempuan yakni 60 persen anak laki-laki dan 40 persen anak perempuan mengalami kekerasan seksual. Hal ini diperkuat dengan survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyebutkan 1 dari 10 laki-laki di Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Dari data di atas cukup untuk menyatakan bahwa permasalahan ini membutuhkan perhatian serius. Muncul sebuah tantangan terkait stigma sosial yang dikenal dengan istilah “Toxic Masculinity”.Stigma tersebut menindas dan membatasi peran sosial laki-laki. Banyak tuntutan tidak masuk akal yang disematkan pada laki-laki seperti laki-laki harus dominan, tangguh, dan kuat secara emosional.

Stigma tersebut seolah-olah mengatakan bahwa tidak mungkin laki-laki yang kuat dan tangguh dapat mengalami pelecehan seksual.Bilapun itu terjadi seharusnya laki-laki dapat melawannya. Anggapan yang keliru ini sudah sangat umum ditemui di masyarakat, sehingga permasalahan ini cenderung diabaikan.

Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Michelle Davies dan Paul Rogers pada tahun 2006 yang berjudul “Perceptions of male victims in depicted sexual assaults: A review of the literature” ada sebuah anggapan bahwa “seorang perempuan tidak dapat memaksa laki-laki melakukan hubungan seksual”. Perempuan dianggap sebagai individu yang lemah dan pasif dibandingkan laki-laki yang cenderung agresif dalam hubungan seksual.Sehingga sulit membayangkan seorang “perempuan yang submisif” menjadi inisiator dalam hubungan seksual.

Laki-laki korban pelecehan seksual cenderung tertutup dan enggan membicarakan permasalahan ini.Hal ini tidak terlepas dari stigma maskulinitas yang melekat pada laki-laki.Mereka merasa lemah dan takut dianggap kehilangan ‘kejantanannya’ karena tidak memenuhi tuntutan sosial produk gender tradisional.

Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Wayne Russell pada tahun 2007 yang berjudul “Conflict-related sexual violence against men and boys” Naik laki-laki dewasa maupun anak-anak cenderung enggan untuk melaporkan pelecehan yang mereka alami sehingga sulit untuk memetakan permasalahan ini dengan akurat. Data-data yang ada masih sangat kurang merepresentasikan jumlah korban pelecehan seksual laki-laki yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan kurangnya bantuan dan keadilan bagi korban. 

Banyak penelitian yang dilakukan cenderung timpang gender, yaitu memandang remeh posisi laki-laki sebagai korban. Kurangnya penelitian terhadap korban laki-laki dapat menjadi tolok ukur bahwa permasalahan ini masih relevan untuk didiskusikan.

Banyak tulisan yang membahas trauma psikologis yang dialami perempuan korban pelecehan seksual akan tetapi sedikit sekali yang membahas trauma psikologis laki-laki korban pelecehan seksual.Selayaknya perempuan laki-laki juga merasakan hal-hal yang dialami perempuan seperti depresi, kemarahan, dan rasa rendah diri.

Di luar diskriminasi sosial yang menimpa korban pelecehan seksual laki-laki perlu diingat bahwa pelecehan seksual adalah tindakan keji yang harus kita lawan. Penting bagi kita untuk menyadari relita bahwasanya pelecehan seksual bisa menimpa siapa saja tidak peduli umur bahkan gender. 

Dengan menyadari realitas ini diharapkan kita dapat menjaga diri dengan tetap waspada di mana pun berada. Namun, yang tak kalah penting adalah menumbuhkan kepekaan kita terhadap kasus pelecehan seksual dan tidak tabu dalam menerima pendidikan seksual sejak dini sehingga harapan sebagai seorang makhluk sosial kita dapat menciptakan ruang aman dan adil bagi semua individu, dengan begitu kasus kasus kekerasan seksual dapat ditekan bahkan dimusnahkan, seiring berjalannya waktu. 

Referensi

Nathaya, Yemina (2023). Beyond Stereotypes: Mengungkap Realitas Pelecehan Seksual terhadap Laki-laki | kumparan.com

Budiman, Arif (2022). The Other #MeToo: Pria Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual (voaindonesia.com)

Rosalina, Dian (2023). Pelecehan Seksual Pria: Jadi Lelucon Hingga Terbentur Toxic Masculinity (cxomedia.id)

Ashila, Bestha Inatsan dan Naomi Rehulina Barus (2023). Kekerasan Seksual pada Laki-Laki: Diabaikan dan Belum Ditangani Serius – IJRS

Davies, M., & Rogers, P. (2006). Perceptions of male victims in depicted sexual assaults: A review of the literature. Aggression and Violent Behavior, 11(4), 367-377. https://doi.org/10.1016/j.avb.2006.01.002 

Schulz, P. (2021). Conflict-Related Sexual Violence against Men: A Global Perspective. In Male Survivors of Wartime Sexual Violence: Perspectives from Northern Uganda (1st ed., pp. 26–47). University of California Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctv1f884s7.8

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *