PK IMM FISIPOL UMY
Fastabiqul khairat

Membumikan Gerakan Berbasis Riset sebagai Manifestasi Nilai Religiusitas, Humanitas, dan Intelektualitas dalam Ikatan.

Spread the love

Oleh : Muhammad Yasir Abdad (Anggota Bidang RPK IMM Fisipol UMY)

Geliat globalisasi dalam masyarakat heterogen saat ini menumbuhkan
problematika sosial yang kian kompleks dan memerlukan sebuah solusi yang inovatif, dan tepat sasaran. Fenomena yang terjadi berdasar pada fakta empiris menjadi satu hal yang perlu dikaji untuk memprediksi ikhwal kondisi sosial yang kian berkembang dan menimbulkan gejala destruktif dalam masyarakat. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi kepemudaan yang bersifat moderat, seharusnya mampu menjawab tantangan globalisasi ini dengan Tri Kompetensi Dasar yang menjadi ciri khas gerakannya. Pada posisi organisasi
yang berpegang pada prinsip keagamaan, kemasyarakatan, dan keilmuan inilah,

IMM dirasa penting untuk membangun praktik penelitian yang dimulai dengan sebuah paradigma sosial yang utuh dan berkelanjutan.
Melihat realitas yang ada saat ini, banyak akademisi yang melakukan
penelitian yang bersifat subjektif dan ditunggangi oleh unsur politik untuk
membangun kepercayaan masyarakat terhadap kepentingan tertentu. Keadaan ini menjadi sebuah gejala yang riskan ditengah gelombang informasi yang cukup massif namun masih dipertanyakan kebenarannya. Penerapan metodologi penelitian yang kurang tepat dengan fenomena yang dikaji, tendensi individual yang akan merubah keaslian fakta lapangan, dan desakan kepentingan politik menjadi hal yang merusak paradigma berpikir masyarakat dalam menyikapi sebuahgejala. Selain itu, hasil penelitian masyarakat yang terkesan grusa-grusu berimplikasi pada lahirnya kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Permasalahan inilah yang kemudian menuntut IMM untuk turut andil
dalam membentuk konstruksi sosial yang mampu menghadapi tantangan
globalisasi yang penuh akan perebutan kepentingan dan bersifat merugikan masyarakat.

Gerakan berbasis riset menjadi salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan di atas. IMM yang telah dibekali dengan kemampuan penelitian, dapat mengaplikasikan hasil pendidikannya dengan melakukan penelitian sosial yang nantinya akan diimplementasikan atau diwujudkan dengan gerakan atau kebijakan di dalam ikatan. Melihat melalui kacamata analisis sosial, dalam hal ini IMM dapat disebut sebagai Ilmuwan yang termaktub dalam salah satu
tri kompetensi dasar, yaitu Intelektualitas. Sebagai Ilmuwan, mereka sudah
seharusnya mampu mengamati peristiwa, mengumpulkan data lapangan,
menganalisais hasil temuan, dan pada akhirnya menyimpulkan apa yang telah dikumpulkan dan mencari segala kemungkinan yang terjadi dari peristiwa tersebut untuk selanjutnya disampaikan secara komprehensif dalam bentuk laporan penelitian.


Hasil penelitian yang memuat fakta lapangan, dapat dirumuskan sebagai
indikator pembentukan kebijakan. Proses kebijakan merupakan setiap tahap penetapan agenda yang dilanjutkan dengan tahap formulasi atau penyusunan, adopsi, implementasi, penilaian atau evaluasi, penyempurnaan, hingga terminasi kebijakan. Pelaksanaan proses pembentukan kebijakan di sektor pembangunan
kesejahteraan masyarakat, telah memberi keleluasaan yang cukup beserta
kewenangan kepada peneliti dalam proses pembentukan kebijakan secara de jure, namun kenyataannya secara de facto, peran peneliti disini masih terbatas pada pelaksana riset untuk menghasilkan dokumen saja. Dalam hal ini, hasil penelitian yang ada masih belum mendapat link and match untuk memformulasikan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyakat berdasarkan fakta yang diambil dalam penelitian.

Salah satu isu yang dapat disoroti oleh IMM selaku masyarakat yang telah
dianugerahi kepandaian adalah mengenai perubahan sosial masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Era revolusi industry saat ini menempatkan teknologi. industri yang dibangun di negara berkembang, seperti halnya Indonesia tidak mencapai prinsip link and match dengan kualitas SDM yang tersedia. Tidak sedikit warga masyarakat yang dalam situasi ini tergusur dan terasing di rumahnya sendiri. Hal ini dilatarbelakangi oleh era industrialisasi dan munculnya pola hidup
masyarakat modern. Isu ini menjadi sebuah tamparan yang seharunya mampu menyadarkan IMM dari tidurnya yang hanya bermimpi mengenai kesejahteraansosial tanpa mengetahui fakta di lapangan. Kebanyakan dari kader IMM seolah terbawa arus dan anggapan bahwa “Mahasiswa harus demo, dan turun kejalan” bahkan ada yang tenggelam dalam kalimat pencuci otak “Mahasiswa harus protes kebijakan pemerintah, dan memperjuangkan hak-hak rakyat”.

Keinginan yang terkesan utopis namun tetap dipegang teguh oleh banyak mahasiswa. Dari sinilah, kemudian muncul pertanyaan, “Apa iya kita sudah benar-benar tahu kebutuhan masyarakat?” atau yang lebih ekstrim “Jangan-jangan kitalah yang menjadi beban masyarakat?” pertanyaan-pertanyaan itulah yang seharusnya mampu dijawab oleh IMM dengan kemampuan risetnya. Dalam konteks ini, sebenarnya IMM mampu menjadi aktor perubahan yang lebih dekat dengan masyarakat dan bersifat lebih humanis dengan membentuk sebuah kebijakan berbasis riset. IMM menjadi aktor yang perlu turun langsung ke lapangan, bersosialisasi dengan masyarakat, dan menyatu dengan mereka untuk mengumpulkan data dan fakta yang cukup sebelum membentuk gerakan. Pemetaan
terhadap tingkat melek huruf, budaya, dan pola interaksi sosial menjadi penting untuk dikaji sebelum melahirkan gerakan berbasis masa. Optimalisasi wacana proses kebijakan berbasis riset ini selayaknya diupayakan sebagai bahan reverensi yang kredibel untuk menjadi afirmasi berjalannya gerakan di dalam tubuh IMM. Pendekatan kepada masyarakat melalui riset inilah yang akan menjadi manifestasi nilai religiusitas, kemasyarakatan, dan wujud pengilmuan yang didasarkan pada kemaslahatan masyarakat.

You may also like...