PK IMM FISIPOL UMY
Fastabiqul khairat

PRIMA Menggugat Pemilu 24 di Ambang Gagal ?

oleh Sahgit Fadila (Sekbid RPK PK IMM Fisipol UMY)

Tertanggal 8 Desember 2022 dengan nomor registrasi 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, mengeluarkan suatu gugatan perdata kepada Komisi Pemilahan Umum oleh salah satu partai politik yakni Partai Rakyat Adil dan Makmur atau lebih dikenal dengan partai PRIMA.

Gugatan ini dilayangkan oleh partai Prima akibat dari tidak lolosnya partai tersebut sebagai calon peserta pemilu.  Merasa dirugikan karena dinyatakan tidak memenuhi syarat dan tidak bisa ikut serta dalam konstentasi pemilu, partai ini pun menggugat dengan jalan hukum melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Didalam gugatan tersebut Partai Prima menyatakan bahwa KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi data keanggotaannya di 22 provinsi, yang mengakibatkan tidak lolosnya partai prima dalam kontestasi pemilu 2024. Adapun 22 Provinsi yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) yakni Aceh, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Kep.Riau, Lampung, Maluku, Maluku Utara, NTB, Papua, Riau, Sulsel, Sulteng, Sulut, Sumbar, Sumsel, Sumut. Akibat dari ketidak telitian KPU ini membuat pihak Prima merasa dirugikan secara immaterial yang dapat mempengaruhi kader dari partai Prima itu sendiri. Dalam gugatan yang dilayangkan oleh Partai Prima kepada KPU melalui PN Jakpus yakni meminta agar KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selebih-kurangnya selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan. Yang mana tertanggal 2/3/2023 seluruh gugatan diterima. Dengan diterimanya gugatan dari partai prima terhadap KPU maka Pemilu Serentak 2024 akan terancam tertunda sampai 9 Juli 2025.

Terkabulnya gugatan tersebut menimbulkan berbagai polemik ditengah masyarakat. Salah satunya dari Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, yakni Mahfud MD yang menilai Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat salah dalam mengabulkan gugatan partai prima dalam penundaan pemilu 2024. Yang mana beliau menerangkan tidak semestinya hakim pengadilan negeri memutuskan perkara administrasi yang telah menjadi kewenangan pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang diatur dalam UU no 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan pengadilan negeri berwenang mengadili perkara mengenai tindak pidana. Hal ini tentu gugatan yang di kabulkan oleh hakim tersebut merupakan sebuah keputusan yang cacat hukum. Apalagi terang Mahfud MD perkara ini seharusnya bukan berada dalam wewenang pengadilan umum, melainkan PTUN yang diperkuat oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019.

Hal penolakan senada juga dari partai lain, salah satunya partai PKS, melalui legislator Mardani Ali Sera yang menegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) lah yang memiliki kewenangan yang kuat untuk memutuskan Pemilu 2024 tetap berjalan atau di tunda. Ia menilai pemilu serentak 2024 tidak bisa ditunda atau digugat oleh persoalan satu partai saja, dan juga Mardani merasa putusan PN Jakarta Pusat merupakan produk cacat hukum dan tidak memiliki wewenang untuk mempengaruhi KPU dalam melangsungkan pemilu di 14 Februari 2024.

Dalam menanggapi permasalah yang ditimbulkan dari gugatan tersebut, partai Prima melalui Ketum Agus Jabo Priyono menerangkan bahwa gugatan yang mereka layangkan kepada KPU bukan mengenai sengketa Pemilu, melainkan gugatan perbuatan melawan hukam alias PMH. Mereka merasa KPU telah menghalangi hak politik warga negara untuk membentuk partai politik dan mengikuti kontestasi pemilu serentak di tahun 2024 nanti.

Tentu penolakan itu bukan sekedar penolakan belaka. Dilihat dari perspektik konstitusi yang berhak dan berwenang untuk menetapkan permasalahan pemilu hanya kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Konstitusi. Hal ini diperkuat didalan konstitusi Kegara Kesatuan Republic Indonesia pasal 24C ayat 1 perubahan ke 3 yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutusakna pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu”. Maka dengan adanya dasar hukum yang kuat ini, menjustifikasikan bahwa pengadilan negeri tidak memiliki kekuatan hukum untuk menunda pemilu 2024.

 Di lain sisi perkara ini bisa dikatakan sebagai perkara salah sasaran, yang mana pengadilan negeri yang ruang lingkup pengadilan nya hanya dibatas untuk tindak pidana, sedangkan gugatan dari partai prima itu sendiri yakni gugatan yang berkaitan dengan administrasi yang seharunya berada di wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Yang mana dalam Konstitusi pasal 24A ayat 1 perubahan ke 3 Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.  Sebenarnya perkara ini sudah beberapa kali dilayangkan oleh partai Prima pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 30 November 2022. Namun, gugatan tersebut mendapat penolakan dengan alasan PTUN tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara yang dilayangkan. Hal ini terjadi karena adanya UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang isinya perkara mengenai kepemiluan dapat dipersengketakan apabila KPU RI telah menerbitkan surat keputusan yang bersifat final dan mengikat. Sedangkan KPU baru mengelurkan penetapan parpol peserta pemilu 2024 yang penetapannya belum bersifat final. Maka dengan alasan ini gugatan Prima ditolak oleh PTUN.

Namun, putusan pengadilan negari Jakarta pusat ini tidak seluruhnya dapat disalahkan. Hal ini dijelaskan oleh jubir dari MA, Suharto yang menegaskan hakim PN Jakarta Pusat tidak bisa disalahkan mengenai produk hukum yang telah diputuskan di pengadilan. Ia menegaskan lagi bahwa hakim pimpinan sidang memiliki independensi yang mutlak dalam membuat atau menjatuhkan putusan suatu perkara. Selain itu gugatan yang telah dikabulkan tersebut belum memiliki dasar hukum yang final, sebab masih ada kesempatan untuk mengajukan banding terhadap putusan hakim tersebut. Dan beliau juga menegaskan masyarakat untuk tidak terlalu gaduh secara berlebihan, dan lebih bijak untuk menunggu proses banding yang mana putusan hakim dapat dibatalkan oleh Hakim tinggi, apabila dinyatakan cacat hukum.  Hal tersebut diamini juga oleh Humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo yang menerangkan putusan yang bernomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst belum memiliki kekuatan hukum tetap atau ikrah. Sehingga masih ada upaya hukum yang luas untuk menyatakan banding. 

Dengan bergulirnya polemik ini memang menimbulkan sebuah dinamika opini yang sangat panas. Hal ini bisa diharap maklumi seperti yang kita pahami pemilu 2024 bukan sekedar kontestasi pemilihan saja namun, sebagai bentuk ketaatan bernegara. Tapi ada yang perlu digarisbawahi kita sebagai warga negara harus menanggapi berbagai polemik dengan kepala dingin dan mengedepankan rasionalitas. Seperti yang telah dijabarkan keputusan Pengadilan Negari Jakarta Pusat mengenai pengabulan gugatan partai Prima, merupakan sebuah keputusan yang belum final dan masih bisa dilakukan banding ke pengadilan tinggi.

So, apakah Pemilu layak untuk di tunda atau tetap dilaksanakan sesuai jadwal ?

You may also like...