PK IMM FISIPOL UMY
Fastabiqul khairat

Disambut Sukacita, Berujung Malapetaka: Sepakbola Seharusnya Menyatukan Kita

Spread the love
Sumber: Tribun News

Oleh: Dimas Adi Nugroho (Ketua Umum PK IMM Fisipol)

“Konon, pada 90 menit pertemuan orang menggila dan bersuka cita”

– TD

Sepakbola dan masyarakat adalah dua hal yang sulit dipisahkan antara satu dengan yang lain. Banyak yang mengamini, kehadiran sepakbola merupakan salah satu anugerah terindah yang pernah hadir di dalam kehidupan. Sepakbola milik masyarakat dan merupakan hajat daripada masyarakat itu sendiri. Mengapa demikian? Perlu kiranya kita bandingkan dengan beberapa cabang olahraga lain, olahraga yang mulai populer di Inggris selepas dikemas secara modern dengan aturan-aturan yang melingkupinya merupakan olahraga yang paling ramah. Keramahannya disini dapat kita artikan sebagai olahraga yang dapat diterima oleh semua masyarakat dari berbagai kalangan, tanpa terkecuali. Baik itu sebagai pelaku maupun penikmat. Hingga pada akhirnya, sepakbola menjadi olahraga paling pouler di dunia hingga sekarang. 

Sepakbola adalah bagian dari hidup masyarakat. Sepakbola lebih dari sekedar permainan dengan siapa yang paling lincah mengolah si kulit bundar kemudian menceploskannya ke gawang, maka ia adalah pemenangnya. Dalam sejarah panjang, sepakbola telah menjadi bagian hidup masyarakat. Bahkan di beberapa negara, sepakbola turut mencoretkan diri sebagai bagian dari pelaku sejarah setempat. Di Eropa sendiri sepakbola menjadi sarana perlawanan politik bagi rezim yang berkuasa. Pada awal abad ke-19, pertandingan sepakbola di wilayah Eropa layaknya ajang hidup-mati dan harga diri bagi negara-negara yang berkompetisi. Hungaria salah satunya, di bawah karir kepelatihan Gustaz Sebes, Hungaria kala itu berhasil naik podium selepas mempermalukan Yugoslavia dengan skor akhir 2-0. Gustav Sebes yang merupakan seorang komunis meyakini bahwa, berlaganya timnas Hungaria di Olimpiade tersebut merupakan representasi dari perlawanan kaum proletar yang pada saat itu reputasinya sedang terjatuh. Kemenangan timnas Hungaria yang diganjar medali ini turut mengangkat harga diri kaum komunis pada saat itu(Harimurti, 2021). 

Sepakbola dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Menukil konsep demokrasi yang digagas oleh Presiden Amerika Abraham Lincoln, penulis mempercayai bahwa hadirnya entitas sepakbola di tengah-tengah masyarakat saat ini bermula dari rakyat, dan akan kembali lagi ke rakyat. Bagaimana tidak, perjalanan sejarah sepakbola yang semula hanya sebuah permainan biasa menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari masyarakat membuat status quo bahwa sepakbola milik rakyat adalah hal yang tidak terbantahkan. Sekarang, setelah berakhirnya Perang Dingin, dijadikannya sepakbola sebagai sarana politik secara terang-terangan mungkin lambat laun semakin menyusut. Di era saat ini, kehadiran sepakbola dalam industri olahraga yang diatur sedemikian rupa hampir sepenuhnya murni sebagai ajang hiburan, adu gengsi antar identitas yang mewakili entitas atau wilayah tertentu. Dan sampai sekarang juga, kesatuan antara sepakbola dan masyarakat semakin tidak terpisahkan. 

90 Menit yang Paling Ditunggu 

Di era modern seperti sekarang ini, pertandingan bola cenderung menjadi hiburan yang sangat populer di tengah masyarakat. Bayangkan saja, tak lepas dari dampak globalisasi, seseorang dapat menjadi penggemar sebuah klub yang notabene klub tersebut bukan berasal dari domisili yang ia tempati. Sebut saja klub-klub populer di benua Eropa seperti Manchester United dan Real Madrid. Hal ini tentu bukan terletak pada globalisasi yang berkontribusi besar terhadap branding klub tersebut. Akan tetapi, letaknya adalah bagaimana seseorang dapat begitu fanatik hanya dengan menyaksikan bola yang diolah dengan indah dari kaki ke kaki, kemudian ditembakan ke gawang dan berbuah gol. Menonton secara langsung barangkali belum pernah mereka lakukan, dan semestinya terlihat mustahil untuk tumbuh sebuah kecintaan pada klub tersebut. Tapi inilah sepakbola, yang konon daya magisnya mampu membuat orang menggila. 

Di Indonesia sendiri, sepakbola seolah menjadi jantung kehidupan masyarakat. Selain menjadi alat perjuangan di kala masa kolonial dulu, sepakbola di Indonesia menjadi wujud identitas bagi masyarakat tertentu. Apabila kita sejajarkan, euforia sepakbola di Indonesia mungkin setara dengan negara-negara di Eropa hingga Amerika Latin. Entitas sepakbola di Indonesia pada dasarnya kental akan corak persatuan. Apabila kita amati betul, mayoritas klub-klub sepakbola di Indonesia memiliki nama dengan awalan ”Persatuan”, contohnya Persija (Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta). Sebetulnya, hal ini hanya memudahkan saja bagi penyebutan tim tersebut, karena rata-rata klub sepakbola di Indonesia yang berbasis pada kabupaten/provinsi sejatinya terdiri dari klub-klub kecil dibawahnya, dan klub yang berlaga di kompetisi resmi di atasnya merupakan perwakilan dari klub kecil yang dia naungi. 

Sedari dulu hingga hari ini, euforia sepakbola tumbuh melesat di alam sadar masyarakat Indonesia secara genap. Bagi mereka, sepakbola lebih dari sekedar permainan. Sepakbola adalah hajat hidup yang sama sekali haram hukumnya untuk dilewatkan. Sebagai penikmat akut, masyarakat Indonesia menafsirkannya sebagai keterwakilan atas identitas mereka. Maka dari itu, tak jarang laga resmi di kasta manapun adalah ajang adu harga diri bagi masyarakat Indonesia ketika kebanggaanya bertanding dengan kesebelasan klub lain. Alam fanatisme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola tiada tandingnya, dibanding negara-negara serumpun maupun regional lain. Dengan kerangka keyakinan bahwa tim kebanggaan adalah harga diri yang harus dikawal sedemikian rupa, apapun badai yang menghadang di depan. Ini terbukti lewat berbagai macam cara masyarakat Indonesia ketika mendukung tim kebanggaannya. Mulai dari yang rela mengerahkan segalanya demi bisa menonton kesebelasannya saat berlaga, hingga bentuk dukungan secara kreatif yang bertujuan untuk menunjang kemajuan klubnya. 

Meskipun singkat, 90 menit waktu pertandingan adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang terlanjur menetapkan cintanya pada sepakbola. Tidak memandang batas kalangan, mulai dari bangku pendidikan, lingkaran pekerjaan hingga lingkup-lingkup terkecil yaitu keluarga. Bagi mereka, 90 menit di akhir pekan adalah momen emas yang paling dinanti. Bahkan, cara mereka dalam menyambut waktu emas itu dikemas secara unik. Ada yang mempersiapkan suguhan kreatifitas berupa koreo, chants hingga forum-forum doa bersama agar kesebelasannya mendapat hasil terbaik ketika peluit 90 menit telah dibunyikan. Hari pertandingan tiba, semua massa tumpah ruah di dalam stadion tempat kebanggaanya bertanding. Semua bersatu dalam satu tribun,  tak peduli apapun ras, agama ataupun taraf ekonominya. Ada yang menyanyikan chants tiada henti, ada pula yang duduk manis menikmati jalannya pertandingan. Apapun latarbelakangnya, yang terpenting tujuan mereka sama, yakni kebanggaanya menang. Bagi mereka, sepakbola adalah pelampiasan terbaik atas hiruk-pikuk kehidupan selama satu minggu penuh secara emosional. Barangkali pula, sepakbola adalah gairah kehidupan sesungguhnya bagi masyarakat Indonesia.

Menyambut dengan Bahagia, Mengakhiri dengan Duka

Euforia fanatik terhadap sepakbola diwujudkan dalam berbagai macam bentuk. Mulai dari yang negatif hingga positif, mulai dari yang ala kadarnya hingga tingkat kreatifitas paling tinggi. Bagi sebagian masyarakat, sepakbola merupakan simbol yang harus senantiasa dijaga, bahkan hingga akhir hayat tiba. Belakangan ini, dinamika sepakbola mengalami masa surut, sesurut-surutnya dibandingkan masa-masa sebelumnya. Euforia luarbiasa itu kembali memakan korban jiwa. Memang, hal serupa bukan sesuatu yang asing bagi dinamika sepakbola di negeri ini. Namun yang pasti, bentuk dukungan yang berakhir dengan timbulnya korban jiwa bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan, atas dalih apapun. Belum genap satun bulan lamanya, euforia bola di Indonesia telah memakan 3 korban jiwa. 

Duka ini dimulai ketika terjadi persinggungan antar 2 kesebalasan yang memiliki rivalitas sejak lama yang kala itu sedang melakukan laga tandang dan  menimbulkan bentrok di salah satu sudut wilayah Sleman pada 25 Juli silam. Dampaknya, satu korban jiwa yang kebetulan merupakan suporter PSS Sleman meregang nyawa selepas dikeroyok oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Selanjutnya, menuju laga Persebaya kontra PSS Sleman salah satu suporter Persebaya yang hendak memberikan dukungan terpaksa meregang nyawa pada saat melakukan perjalanan ke Sleman di Sragen, Jawa Tengah. Dan yang terbaru, lagi dan lagi, salah satu suporter PSS Sleman harus mengakhiri hidupnya di tangan dingin rival akibat dikeroyok tanpa sebab oleh oknum rival suporter yang tidak bertanggungjawab ketika perjalanan selepas menyaksikan laga PSS kontra Persebaya. 

Memang, di dalam sepakbola tersemat kata rivalitas. Akan tetapi, rivalitas yang dimaksud disini perlu digaris bawahi yaitu rivalitas 2×45 antara 2 kesebalasan yang sedang berlaga. Penulis disini mewajarkan upaya-upaya psywar yang dilakukan oleh kedua kubu suporter. Namun, hal tersebut perlu digaris bawahi bahwa upaya itu hanya bertujuan untuk menjatuhkan mental pemain lawan, bukan memicu ketegangan antar suporter yang menimbulkan bentrok. Ketiga momen tersebut adalah luka yang tidak akan sembuh, tentu menjadi duka abadi. Bagi pecinta sepakbola Indonesia, lebih lagi elemen suporter yang menjadi korban. Bayangkan, sepakbola yang menjadi tempat pelampiasan emosional dan menumbuhkan raut bahagia, tidak disangka justru menjadi ajang meregang nyawa. Akibatnya, mungkin kalimat yang paling mengerikan untuk didengar oleh insan penikmat sepakbola khususnya anak muda belakangan ini adalah ”Ayah, Ibu, saya pamit nonton pertandingan bola”. Kemudian, deru sirine ambulan menghampiri kediaman mereka dengan membawa jasad anaknya yang tidak lagi bernyawa. Sungguh, ini bukan hal yang diinginkan sama sekali!

Seharusnya, Sepakbola menjadi Awal Persatuan

Fenomena di atas adalah peristiwa keji yang tidak boleh terulang. Bukankah sepakbola harusnya menjunjung tinggi asas kemanusiaan? Sosok budayawan ulung, Emha Ainun Nadjib berpendapat jikalau sepakbola merupakan untuk bersyukur, menumbuhkan persaudaraan dan tolong menolong. Di akhir tulisan, pada dasarnya sepakbola dapat menjadi ajang persaudaraan, seperti yang Cak Nun sampaikan. Toh pun, sejarah Indonesia sendiri telah mencatat bahwa sepakbola merupakan alat persatuan untuk melawan penjajah. Tegakah kita merusaknya? Jangan sampai. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan dua cara pertama, ubah tradisi rivalitas. Tradisi rivalitas dapat dihilangkan ataupun diubah ke dalam kemasan yang lebih positif. Karena bagaimanapun juga, tradisi rivalitas tersebut layaknya akar yang akan menumbuhkan batang kebencian antar elemen suporter lain. Apa yang kita pertimbangkan? Tentu jangan sampai hal ini berlanjut ke generasi kita selanjutnya. Kedua, sinergitas berbagai pihak. Perlunya sinergitas yang dijunjung antara elemen suporter, aparat hingga pemangku kepentingan kompetisi adalah alternatif yang dapat ditempuh. Dengan ini, kita semua saling mengerti dan menjaga antara satu dengan yang lain. Iklim kompetisi stabil, sepakbola Indonesia maju. 

If you give us in 90 minutes, we will give u a lifetime

Editor: Hasna Arsita

You may also like...